Policy Paper
Keberagaman Hayati dan Budaya:
Kunci Kedaulatan Pangan Nusantara
Dari Revolusi Pertanian ke Revolusi Hijau
Keberagaman hayati merupakan kunci kehidupan di planet ini. Tiap spesies, dari yang renik seperti mikroba di dalam tanah hingga gajah sumatera, memiliki peran unik dan tak tergantikan untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Ketika satu spesies mengalami kepunahan, jejaring ekosistem pun terkoyak dan pada gilirannya akan mempengaruhi ketahanan serta kapasitas alam dalam menyediakan jasa lingkungan untuk mendukung kehidupan. Padahal, kita tak akan bisa menghirup udara, meneguk air, dan makan tanpa jasa alam ini.
Keberagaman hayati ini tercipta melalui proses panjang seleksi alam dan adaptasi tiap spesies terhadap lingkungan yang berbeda. Mekanisme ini pula yang menempa manusia hingga ke variasi fisik dan keberagaman budaya seperti sekarang ini. Selama puluhan ribu tahun, manusia menyebar ke penjuru Bumi untuk meramu tanaman dan berburu hewan yang hidup dan berbiak tanpa campur tangan mereka.
Kita mulai mengambil alih mekanisme alam untuk melakukan seleksi terhadap flora dan fauna sejak sekitar 12.000 tahun lalu. Sejak saat itu, manusia mencurahkan energi dan waktunya untuk membudidayakan tanaman dan membiakkan binatang tertentu, serta perlahan menyingkirkan yang lainnya. Terjadilah suatu perubahan cara hidup yang juga menjadi penyebab terbesar perubahan ekosistem: Revolusi Pertanian.
Tanaman gandum (Triticum spp) sebelum 9.000 tahun lalu hanyalah rumput liar, satu di antara sekian banyak jenis, yang tumbuh terbatas di wilayah sempit di Timur Tengah. Mendadak, tanaman ini ditumbuhkan nyaris di seluruh penjuru dunia. Menurut kriteria evolusi dasar, gandum menjadi tanaman paling berhasil dalam riwayat Bumi (Harari, 2011).
Kini gandum menjadi sumber pangan manusia paling utama secara global dengan total produksi per tahun mencapai 7,49 juta ton, disusul padi 7,4 juta ton. Sedangkan jagung, menjadi sumber pangan yang paling banyak ditanam, yaitu mencapai 1,89 miliar ton per tahun. Sebagian besar, jagung diproduksi untuk pakan ternak (FAO, 2018). Seperti gandum, sebelum 9.000 tahun lalu tanamn padi (Oriyza spp) tak lebih dari sejenis rerumputan di pinggiran Sungai Yangtze, China (Molina, 2011), sedangkan jagung bahkan baru didomestifikasi manusia dari rumput liar di pinggiran Sungai Balsa sekitar 8.700 tahun lalu (Ranere, 2009).
Revolusi Pertanian telah membedakan manusia modern (Homo sapiens) dengan kelompok homo arkaik lain yang telah punah, seperti Homo erectus, Neandertal, hingga Denisovan. Kemampuan mendomestifikasi flora dan fauna ini, kemungkinan yang membuat Homo sapiens masih bertahan di Bumi, bahkan terus tumbuh hingga saat ini mencapai 7,6 miliar.
Seiring pertumbuhan populasinya, manusia terus mengokupasi dan mengubah bentang alam hingga melebihi daya dukungnya. Perubahan paling drastis terjadi dalam satu abad terakhir, dan terutama sejak Revolusi Hijau yang dimulai pada tahun 1950-an. Gerakan untuk meningkatkan produksi pertanian di seluruh dunia ini dilakukan melalui pengembangan benih unggul dan hibridisasi, memperluas irigasi, hingga penggunaan pupuk sintetis dan pestisida. Gerakan ini juga menandai perubahan pola produksi dari pertanian subsisten untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari menjadi bertani untuk keuntungan komersial.
Empat Bias Persoalan Pangan di Indonesia
Di Indonesia, Revolusi Hijau diterapkan secara masif pada era Orde Baru dengan mimpi utamanya swasembada beras. Revolusi Hijau dibahasakan oleh Orde Baru sebagai Pancausaha Tani, yang meliputi penggunaan benih unggul, pemupukan kimia, irigasi yang baik, proteksi tanaman terutama dengan pestisida, dan mekanisasi pertanian.
Selama era Revolusi Hijau keragaman bibit lokal yang sebelumnya dimiliki oleh petani telah beralih ke tangan korporasi bibit transnasional. Sebelum Revolusi Hijau terdapat kurang lebih 8.000 jenis bibit padi lokal, yang semuanya kemudian tersimpan di IRRI (International Rice Research Institute) di Filipina. Kini hanya tinggal sekitar 25 jenis bibit padi lokal yang masih tersisa di petani di Indonesia. Kearifan petani telah dimatikan dengan penyeragaman. Kemandirian telah digantikan dengan ketergantungan.
Tak hanya penyeragaman produksi dengan menerapkan benih unggul dan melarang varietas lokal, penyeragaman juga dilakukan terhadap pola konsumsi masyarakat. Keberadaan beras menjadi indikator kecukupan pangan. Beras juga menjadi komoditas politik dengan menjadi komponen gaji pegawai negeri sipil dan tentara di seluruh wilayah Indonesia. Mereka menjadi agen sosial yang membawa beras ke berbagai pelosok negeri dan perlahan menggusur beragam pangan lokal lain.
Penyeragaman pangan terlihat dari perubahan komposisi beras dalam menu masyarakat di Indonesia. Berdasarkan data yang diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS), porsi beras dalam memenuhi pangan pokok masyarakat hanya 53,5 persen pada tahun 1954, sisanya dipenuhi dari ubi kayu 22,26 persen, jagung 18,9 persen, dan umbi-umbian 4,99 persen. Tahun 1981, pola konsumsi pangan pokok bergeser drastis. Beras menempati porsi 81,1 persen, ubi kayu 10,02 persen, dan jagung 7,82 persen. Pada 1999, konsumsi ubi kayu tinggal 8,83 persen dan jagung 3,1 persen. Memasuki 2010, pola konsumsi pangan pokok selain beras nyaris hilang. Konsumsi beras yang turun pada 2012 kembali meningkat. Jika pada 2012 konsumsi beras 96,6 kilogram per kapita per tahun, tahun 2016 jadi 101 kg per kapita per tahun. Angka ini termasuk yang tertinggi di dunia, mengalahkan negara pengonsumsi beras lain, seperti Malaysia, Thailand, dan Jepang (Arif, 2018).
Produksi beras nasional memang berlipat hingga tiga kali lipat dalam 30 tahun (Las, 2009), sehingga sempat menempatkan Indonesia yang semula pengimpor beras terbesar menjadi swasembada beras pada 1984. Atas kesuksesan itu, Presiden Soeharto, menuai penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada tahun 1985. Namun, kesuksesan itu tak berlangsung lama, karena sejak tahun 1990-an Indonesia harus kembali mengimpor beras. Swasembada beras hanya bisa diperoleh kembali pada tahun 2008, dan setelahnya kembali tergantung impor.
Belakangan, kita semakin tergantung gandum impor yang proporsinya terus meningkat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, impor pangan pada 2003 tercatat 3,34 miliar dollar AS, namun pada 2013 impor pangan telah mencapai 14,90 miliar dollar AS, atau tumbuh empat kali lipat. Tujuh komoditas pangan yang impornya lebih dari 200.000 ton per tahun meliputi beras, jagung, gandum, kedelai, ubi kayu, bawang putih, dan kacang tanah serta satu komoditas perkebunan, yaitu gula, impor selama empat tahun terakhir ini meningkat 5,67 juta ton dari 21,95 juta ton (2014) menjadi 27,62 juta ton (2018). Bahkan, untuk gandum total impor kita sudah menjadi 12,5 juta ton di 2017 (Index Mundi, 2019), menjadikan Indonesia importir gandum terbesar di dunia pada tahun tersebut (Andreas, 2019).
Selain ketergantungan pada impor pangan, kebijakan pangan kita selama ini terbukti tak bisa memberikan pangan bernutrisi untuk seluruh masyarakat. Penyeragaman pangan, baik modus produksi dan konsumsi, telah menempatkan sebagian masyarakat justru rentan pangan. Kasus gizi buruk dan bencana kesehatan di Asmat, Papua awal tahun 2018 yang menewaskan 72 anak menjadi puncak gunung es kerentanan pangan kita.
Selain itu, laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2018 tentang ”Kondisi Ketahanan Pangan dan Gizi di Dunia” juga menyebutkan, Indonesia satu-satunya negara yang memiliki prevalensi tinggi untuk tiga indikator malnutrisi, yaitu anak pendek (child stunting), kurus (child wasting), dan kegemukan (child overweight). Dalam laporan itu disebutkan, 73 negara di dunia memiliki anak stunting dengan prevalensi 20 persen atau lebih. Sebanyak 29 negara memiliki anak yang kelebihan berat badan dengan prevalensi 10 persen atau lebih dan 14 negara memiliki anak kurus dengan prevalensi 10 persen atau lebih. Namun, di antara negara-negara ini hanya Indonesia yang memiliki prevalensi tinggi untuk tiga indikator malanutrisi anak.
Indonesia satu grup dengan Malaysia, Bangladesh, Mauritania, dan Sudan dalam hal tingginya prevalensi anak stunting. Untuk kasus anak kurus, kita satu grup dengan Timor Leste, Nigeria, Niger, India, Gambia, Yaman, Mali, dan Chad. Sementara untuk kegemukan pada anak, kita satu kelompok dengan 23 negara lain, seperti Turki, Papua Niugini, Suriah, dan Irak.
Global Nutrition Report 2014 menempatkan Indonesia dalam kelompok lima besar negara dengan kasus stunting terbesar di dunia. Indonesia juga masuk dalam 17 negara dari 117 negara dengan beban ganda masalah gizi, yaitu anak balita pendek, kurus, dan kegemukan bersama sejumlah negara Asia Selatan dan Afrika. Namun, 16 negara lain sepertinya sudah lepas dari beban ganda masalah gizi ini.
Bukti-bukti ilmiah telah banyak memaparkan bahwa anak balita yang mengalami masalah malanutrisi ini kelak akan mengalami gangguan kesehatan serius, seperti diabetes, ginjal, hingga penyakit jantung dan stroke. Khusus untuk stunting, hal ini juga bisa berdampak terhadap penurunan kemampuan kognitif sekitar 10 persen saat dewasa. Hal ini karena stunting biasanya dimulai sejak awal pembentukan janin hingga 1.000 hari pertama kehidupan. Padahal, periode ini merupakan fase sangat penting bagi perkembangan berbagai organ tubuh dan otak manusia.
Berdasarkan hasil Pantauan Status Gizi (PSG) 2017, prevalensi stunting anak berusia di bawah lima tahun secara nasional 29,6 persen. Tingkat stunting tertinggi di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan prevalensi mencapai 40,3 persen. Prevalensi stunting di NTT tersebut terdiri dari bayi dengan kategori sangat pendek (18 persen) dan pendek (22,3 persen). Tingginya prevalensi stunting juga terjadi di Jawa, yaitu di Jawa Timur mencapai 26,7 persen, Jawa Tengah 28,5 persen, Jawa Barat 29,2 persen, dan Banten 29,6 persen.
Pada umumnya, gizi buruk pada anak ini dipicu sulitnya akses terhadap pangan berkualitas, untuk stunting hal ini terjadi sejak masa kehamilan. Hal ini bisa juga dipicu kondisi lingkungan yang buruk, seperti sanitasi dan sarana air bersih, yang memicu infeksi penyakit dan berikutnya menghambat pertumbuhan anak.
Sebaran persoalan ini yang meluas, baik di desa maupun kota, menunjukkan bahwa hal ini juga terjadi karena minimnya pengetahuan masyarakat tentang makanan bergizi dan seimbang. Perubahan gaya hidup modern, yang ditandai dengan banyaknya konsumsi pangan cepat saji atau pertumbuhan industri pangan yang juga pesat dengan iklan promosi amat gencar nyaris tanpa pengawasan, juga berkontribusi memicu hal ini.
Kondisi ini terutama terlihat dari persoalan anak dengan berat badan berlebih yang menandai adanya ketidakseimbangan gizi. Kelebihan berat badan pada anak bisa jadi bukan karena dia tidak memiliki akses terhadap makanan, tetapi karena kekeliruan pola dan pilihan jenis makanan.
Tak mengherankan jika majalah The Economist pada 2014menempatkan posisi Indonesia menduduki peringkat ketahanan pangan jauh di belakang Singapura dan negara-negara regional Asia Tenggara lainnya, yang diukur berdasarkan tiga indikator yakni daya beli konsumen, ketersediaan makanan, kualitas dan keamanan makanan.
Kondisi ini sungguh ironis mengingat negara ini dikenal memiliki keberlimpahan sumber daya hayati dan sebagian di antaranya endemis negeri ini. Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Indonesia memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber minyak atau lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, serta 110 jenis rempah dan bumbu.
Indonesia merupakan salah satu pusat asal-usul (center of origin) tanaman padi, jali, kecipir, umbi-umbian, talas, Tacca, pamelo, pisang, sukun, manggis, belimbing, durian, rambutan, salak, langsat, mangga, kemiri, kelapa, tebu, cengkeh, pala, lada, abaka, sagu, cendana, dan bambu (Vavilov, 1926 dalam Suhendra dkk, 2014). Negeri inijuga merupakan pusat keragaman sekunder tanaman, seperti ubi kayu, jagung, ubi jalar, kopi, dan teh (Camellia spp.) (Zeven & Zhukovsky 1975 dalam Suhendra dkk, 2014). Keragaman sumber pangan ini merupakan yang tertinggi di dunia setelah Brasil.
Sumber karbohidrat selain beras bisa berupa beragam biji-bijian lain, seperti jewawut, sorgum, hingga jelai. Selain itu, hampir di semua daerah memiliki umbi-umbian seperti ubi jalar dan talas. Papua, yang tahun 2018 lalu dilanda bencana gizi buruk, memiliki kekayaan umbi luar biasa. Sebanyak 224 kultivar ubi jalar ditemukan di Lembah Baliem dan Wissel, sedangkan di Anggi tercatat 60 kultivar (Schneider et al., 1993 dalam Suhendra dkk, 2014). Papua juga memiliki kekayaan talas. Hasil seleksi LIPI menemukan 20 kultivar talas yang dianggap potensial. Perlu diketahui, talas merupakan plasma nutfah penting karena merupakan salah satu jenis umbi-umbian asliIndonesia dan sudah teruji serta terbukti mampu beradaptasi dengan baik. Bahkan, domestifikasi pertama talas di dunia kemungkinan dilakukan oleh leluhur orang Papua, yang terlihat dari jejak pembukaan hutan di Baliem 7.000-6.000 tahun lalu. Bagian terendah lembah-lembah dataran tinggi utama di Baliem terbukti telah dibuka dan ditanami talas dan pisang (Suhendra dkk, 2014).
Nomor aksesi | nama_aksesi | kabupaten | provinsi | Status aksesi |
05005-00943 | JAGUNG CANTEL | BANYUWANGI | JAWA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00938 | WATAR TUMBU LAMBA | SIKKA | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00939 | WATAR WULI MOTONG | FLORES TIMUR | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00940 | WATAR WULI RARA | FLORES TIMUR | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00942 | OLO WOLO | NAGEKEO | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00926 | BULIR LURUS 2 | BELU | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00941 | WATASOLOT | FLORES TIMUR | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00937 | BAYAN AINARUK | FLORES TIMUR | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00936 | BATAR AINARUP MEA 4 | FLORES TIMUR | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00935 | BATAR AINARUP MEA 3 | FLORES TIMUR | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00934 | BATAR AINARUP MEA 2 | FLORES TIMUR | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00933 | BATAR AINARUP MEA 1 | FLORES TIMUR | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00929 | CANTEL KETAN | BANYUWANGI | JAWA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00944 | WATABLOLON MERAH | FLORES TIMUR | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00927 | BULIR LURUS 3 | BELU | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00953 | WATASOLOT MITEN | FLORES TIMUR | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00928 | KEMPUL | BANYUWANGI | JAWA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00954 | WATAR WULI RARA | FLORES TIMUR | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00910 | RIO | JAWA BARAT | KULTIVAR LOKAL | |
05005-00962 | PEGA HITAM | ENDE | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00925 | BULIR LURUS 1 | BELU | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00960 | JAGUNG WATA | FLORES TIMUR | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00959 | WATABLOLON HITAM | FLORES TIMUR | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00958 | WATAR | MAUMERE | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00957 | PESI | MANGGARAI BARAT | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00951 | WATAR BLOLO | FLORES TIMUR | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00955 | HOLO LEWA | LEMBATA | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00945 | OLO NIPO | NAGEKEO | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00952 | WATAR SOLOR MEA | FLORES TIMUR | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00961 | MALIA | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL | |
05005-00950 | WATAR | SIKKA | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00949 | WATAR | SIKKA | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00948 | WATAR WULU RARA | NGADA | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00947 | WATAR KIAJANG | NGADA | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00946 | NIAWA KOTEN | FLORES TIMUR | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00956 | NUMBAH | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL | |
05005-00891 | BUTTER AINARUP 1 | BELU | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00924 | LOKAL BIMA 3 | BIMA | NUSA TENGGARA BARAT | KULTIVAR LOKAL |
05005-00898 | BUTTER KREK | BELU | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00913 | BUTTER NEAN REKET B | BELU | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00896 | BUTTER MEAN | BELU | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00895 | BUTTER BIARA | BELU | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00894 | BUTTER AINARUP 2 | BELU | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00900 | SELAYER 1 | SULAWESI SELATAN | VARIETAS UNGGUL NASIONAL | |
05005-00892 | BUTTER BEBELIT 2 | BELU | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00899 | BUTTER NEAN REKET A | BELU | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00890 | DEMAK 6 (BABAKAN SARI) | DEMAK | JAWA TENGAH | KULTIVAR LOKAL |
05005-00889 | DEMAK 5 | DEMAK | JAWA TENGAH | KULTIVAR LOKAL |
05005-00888 | DEMAK 4 (MEJEN) | DEMAK | JAWA TENGAH | KULTIVAR LOKAL |
05005-00887 | DEMAK 3 (GAJAH) | DEMAK | JAWA TENGAH | KULTIVAR LOKAL |
05005-00886 | DEMAK 2 (GAJAH) | DEMAK | JAWA TENGAH | KULTIVAR LOKAL |
05005-00885 | DEMAK 1 (GAJAH) | DEMAK | JAWA TENGAH | KULTIVAR LOKAL |
05005-00963 | WATARU HAMU TUJI | SUMBA TIMUR | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00893 | NEAN REKET | BELU | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00911 | HERMADA COKLAT | BOGOR (KABUPATEN) | JAWA BARAT | KULTIVAR LOKAL |
05005-00923 | LOKAL BIMA 2 | BIMA | NUSA TENGGARA BARAT | KULTIVAR LOKAL |
05005-00922 | LOKAL BIMA 1 | BIMA | NUSA TENGGARA BARAT | KULTIVAR LOKAL |
05005-00921 | RUMBIA (LOKAL LAMPUNG) | LAMPUNG | KULTIVAR LOKAL | |
05005-00920 | SORGUM MERAH | BANDUNG (KABUPATEN) | JAWA BARAT | KULTIVAR LOKAL |
05005-00919 | KEMPUL PUTIH 64 K6 | JAWA TENGAH | KULTIVAR LOKAL | |
05005-00916 | SOMALIA / SORGUM PUTIH | JAWA BARAT | KULTIVAR LOKAL | |
05005-00915 | GANDRUNG | BANDUNG (KABUPATEN) | JAWA BARAT | KULTIVAR LOKAL |
05005-00897 | LEPENG | MANGGARAI | NUSA TENGGARA TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00914 | 14 (LOKAL KALTIM) | KALIMANTAN TIMUR | KULTIVAR LOKAL | |
05005-00901 | SELAYER 2 | SULAWESI SELATAN | VARIETAS UNGGUL NASIONAL | |
05005-00905 | KOLOT | GARUT | JAWA BARAT | KULTIVAR LOKAL |
05005-00909 | RGV | JAWA BARAT | KULTIVAR LOKAL | |
05005-00902 | SELAYER 3 | SULAWESI SELATAN | VARIETAS UNGGUL NASIONAL | |
05005-00903 | BATARI | KENDARI | SULAWESI TENGGARA | VARIETAS UNGGUL NASIONAL |
05005-00906 | SORGUM LAO | PASER | KALIMANTAN TIMUR | KULTIVAR LOKAL |
05005-00907 | COLEY | JAWA BARAT | KULTIVAR LOKAL | |
05005-00908 | KELER | JAWA BARAT | KULTIVAR LOKAL | |
05005-00721 | CANTEL ABRIT WONOGIRI | WONOGIRI | JAWA TENGAH | KULTIVAR LOKAL |
05005-00722 | CANTEL WONOGIRI | WONOGIRI | JAWA TENGAH | KULTIVAR LOKAL |
05005-00123 | KEMPUL PUTIH 82 R10 | JAWA TENGAH | KULTIVAR LOKAL | |
05005-00119 | KEMPUL PUTIH 62 R6 | JAWA TENGAH | KULTIVAR LOKAL | |
05005-00074 | MUTIARA KULONPROGO L70 | KULON PROGO | DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA | KULTIVAR LOKAL |
Ya, Indonesia juga menjadi pusat asal dan keragaman tanaman pisang. Dari 66 jenis pisang (Musa)di dunia, terdapat 12 jenis di Indonesia (Nasution & Yamada 2001 dalam dalam Suhendra dkk, 2014). Paling sedikit terdapat 15 varietas liar Musa acuminata yang tersebar dari Aceh hingga Papua (Nasution 1991 dalam Suhendra dkk, 2014). Sumber karbohidrat lain dari buah yang keberadaannya berlimpah adalah sukun (Artocarpus altilis).
Sementara karbohidrat dari batang tanaman terdapat pada sagu yang di masa lalu sebenarnya tersebar dari Papua hingga Aceh. Sagu merupakan sumber pangan penting di masa lalu, jauh sebelum beras, yang . Pemakaian kata sega dalam bahasa Jawa untuk menyebut nasi (sumber karbohdirat), menjadi penanda pentingnya tanaman ini sebagai sumber pangan sebelum padi. Misalnya, untuk menyebut nasi dari beras, orang Jawa akan mengatakan sega beras, nasi dari jagung akan disebut sega jagung, serta nasi dari singkong yang dikeringkan (sega tiwul). Toh, kata sagu memang berasal dari bahasa Jawa, di beberapa wilayah Indonesia terdapat beberapa sejumlah nama seperti rumbia di Sumatera dan Kalimantan. Di Jawa Barat, nasi disebut sangu. Akar kata itu dari sagu juga. Di bahasa Jawa, sangu ialah bekal. Sedangkan lahan sagu kering jadi bekal utama bepergian, disebut sangu dan ditaruh di kantong atau saku (Haska, 2004 dan Tan, 1980 dalam Arif, 2018).
Sagu juga menjadi bekal penting pelayaran bahari nenek moyang kita. Fakta ini diperkuat oleh Prasasti Talang Tuo dari abad ke-7, yang menyebutkan tentang Taman Śrīksetra yang dibuat Raja Sriwijaya yang ditumbuhi dengan aneka tumbuhan, antara lain pohon sagu, kelapa, pinang, bambu, dan aren. Hingga abad ke-13, sagu masih menjadi bagian diet yang penting bagi masyarakat di bagian barat Nusantara. Ini misanya terlihat dari catatan Marco Polo di Sumatera. Saat berada di Fansur–sekarang disebut Barus yang berada di perbatasan Aceh Singkil– Marco Polo melihat masyarakat membuat pati dari tanaman sejenis kelapa (baca: sagu). Dikisahkan,” Mereka tidak memiliki gandum tetapi mereka makan nasi dengan susu dan daging. Dan mereka memiliki anggur dari pepohonan yang telah saya ceritakan. Dan sekarang saya akan menceritakan kepada Anda keajaiban lainnya. Anda harus tahu bahwa mereka memiliki jenis pohon yang besar dan tebal dan memiliki kulit tipis dan di dalamnya terdapat tepung yang sangat baik untuk dimakan. Dan saya katakan lebih lanjut kepada Anda bahwa Tuan Marco Polo telah mencoba tepung ini dan membuat roti (yang) sangat enak untuk dimakan (The travels of Marco Polo, 1958).”
Saat ini, Indonesia menjadi pemilik cadangan sagu terbesar di dunia, dan pemilik sagu terbesar di negeri adalah Papua, salah satunya Asmat, yang tahun lalu mengalami bencana gizi buruk yang mematikan 72 anak-anak. Luasan sagu di Indonesia 5,2 juta hektar, lebih dari 60 persen cadangan sagu global. Lahan sagu 4,7 juta ha ada di Papua dan 0,5 juta ha di Papua Barat. Sisanya di Maluku, Kepulauan Riau, dan Mentawai. Sayangnya, sebagian besar tanaman sagu di Papua mati tanpa sempat dipanen (Bintoro dalam Arif, 2018).
Sungguh ironis, kita telah menyia-nyiakan sumber pangan yang berlimpah di alam, sementara kita menjadi pengimpor gandum terbesar di dunia! Kasus kurang pangan yang ditandai gizi buruk di Papua dan persoalan stunting yang masih menjadi momok di negeri ini, jelas bukan disebabkan oleh kekurangan sumber pangan, namun lebih karena kekurangan pengetahuan dan kesalahan kebijakan.
Setidaknya ada empat lapis masalah yang mengancam kedaulatan pangan kita. Pertama, bias pangan harus beras. Kedua, bias beras harus dari padi sawah. Ketiga, budidaya padi lewat pupuk kimia dan pestisida. Keempat, bias gandum impor sebagai sumber diversifikasi pangan kita. Keempat lapis persoalan ini berakar pada kegagalan memahami keberagaman ekosistem dan budaya masyarakat nusantara. Pada akhirnya, kita menyia-nyiakan keberagaman sumber pangan kita, yang selama ribuan tahun telah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat.
Ekosistem Rusak, Manusia Terancam
Secara global, Revolusi Hijau kini telah diasadari bukan jawaban untuk pemenuhan pangan yang berkelanjutan. Gerakan ini memang pada awalnya dianggap penyelamat manusia dari kelaparan, sehingga tokohnya, ahli agronomi Amerika Serikat, Norman Borlaug, mendapatkan Nobel Perdamaian pada 1970. Produksi gandum meningkat lima kali lipat antara tahun 1961 dan 1991. Harga bahan pangan juga mengalami penurunan karena produksi meningkat. Menurut laporan PBB (1991), jumlah penduduk yang kurang pangan berkurang dari 942 juta jiwa tahun 1970 menjadi tinggal 786 juta jiwa tahun 1990.
Namun demikian, pencapain ini dibayar dengan harga sangat mahal. Laporan panel ahli Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) di bawah koordinasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2019 menyebutkan, kegiatan pertanian dan peternakan memiliki dampak terbesar pada ekosistem. Analisis yang menyarikan temuan dari hampir 15.000 penelitian dan laporan pemerintah berbagai negara ini, menyebutkan, sekitar 75% lahan dan 66% wilayah lautan telah “diubah secara signifikan” oleh manusia, sebagian besar karena alasan produksi makanan.
Sektor pertanan dan peternakan juga telah menguasai lebih dari 33% permukaan tanah di Bumi dan 75% sumber daya air tawar. Kegiatan pertanian juga merupakan kontributor terbesar emisi gas rumah kaca. Mereka menyumbang sekitar 25% dari total emisi karena penggunaan pupuk mimia dan konversi hutan untuk bercocok tanam atau memelihara ternak. Selain dari sektor pertanian, ancaman terbesar berikutnya bagi alam adalah eksploitasi tanaman dan hewan di habitatnya; perubahan iklim; polusi dan penyebaran spesies invasif. Laporan ini menemukan bahwa kelimpahan rata-rata tanaman asli, hewan dan serangga telah jatuh di sebagian besar ekosistem utama paling sedikit 20% sejak 1900 karena spesies invasif.
Mengacu pada laporan ini, kelimpahan spesies asli di sebagian besar habitat daratan, air tawar, dan lautan telah turun paling sedikit 25 persen sejak tahun 1900 dan melonjak laju degradasinya dalam 40 tahun terakhir. Sebanyak 680 spesies hewan bertulang belakang (vertebrata) telah punah, termasuk kura-kura raksasa Pinta dari Galapagos yang punah pada 2012.
Lebih dari 9 persen spesies dari semua jenis mamalia yang diternakkan untuk pangan dan pertanian telah punah pada tahun 2016, dengan setidaknya 1.000 jenis lain terancam. Untuk spesies amfibi yang terancam punah mencapai 40 persen, terumbu karang dan mamalia laut 33 persen, burung 14 persen, dan serangga minimal 10 persen. Berdasarkan proporsi tersebut, para ilmuwan meperkirakan, dari sekitar 8 juta spesies hewan dan tumbuhan yang ada, di mana 75 persen di antaranya adalah serangga, sekitar 1 juta terancam punah.
Kehancuran ekosistem itu kini disadari telah mengikis fondasi ekonomi, mata pencaharian, keamanan pangan, kesehatan, dan kualitas hidup seluruh makhluk di dunia. Praktik eksploitasi sumber daya tak berkelanjutan ini pada akhirnya berbalik mengancam pemenuhan pangan global. Laporan IPBES (2019) juga menyebutkan, kehilangan serangga penyerbuk telah menurunkan produksi tanaman dengan kerugian hingga 577 miliar dollar Amerika Serikat, dan panen global menurun 23 persen akibat degradasi tanah.
Ketidakseimbangan ekologi juga telah memunculkan spesies invasif, misalnya merebaknya hama tanaman. Sementara itu, penyeragaman flora dan fauna yang dibudidayakan melalui dalih benih dan bibit unggul dengan menyingkirkan keberagaman lokal, telah mengancam ketahanan genetika mereka.
Tekanan terhadap produksi pangan diperberat dengan kekurangan air tawar dan ketidakstabilan iklim. Jelas bahwa, penyusutan ragam hayati ini merupakan ancaman langsung terhadap kesejahteraan dan keberlangsungan hidup manusia di semua wilayah di dunia.
Kajian Lambaga Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) yang dirilis Februari 2019 lalu menemukan, merosotnya keberagaman spesies telah menghancurkan keseimbangan alam dan pada akhirnya akan mengancam ketersediaan pangan global. Keberagaman spesies merupakan kunci keberlangsungan hidup di muka Bumi, karena semua organisme terhubung dalam jejaring kehidupan. Misalnya, hilangnya serangga akibat penggunaan pestisida, telah mengancam penyerbukan tanaman.
Situasi ini, pada akhirnya dikhawatirkan akan ”membawa pemusnahan massal keenam kalinya di Bumi dan faktor penting bagi perubahan ekologi global” (Dirzo, 2014). Para ilmuwan telah mengidentifikasi, Bumi setidaknya pernah mengalami lima kali pemusnahan massal. Terakhir, pemusnahan massal terjadi 66 juta tahun lalu akibat tumbukan meteor besar ke Bumi. Ini dikenal sebagai kepunahan Cretaceous yang menghilangkan era dinosaurus. Sedangkan pemusnahan massal ke depan, disebabkan oleh faktor manusia. Berdasarkan hal ini, para ahli mengusulkan bahwa era Holocene telah digantikan babak Antroposen.
Jika sebelumnya pergantian epos geologi di Bumi dipicu peristiwa alam, di era Antroposen, untuk pertamakalinya perubahan global dipicu ulah penghuninya. Alih-alih mengancam kehidupan lain, ulah manusia sebenarnya mengarah pada bunuh diri. Berbagai kajian telah memaparkan, degradasi lingkungan sama bahayanya dengan perubahan iklim global, di mana kombinasi keduanya telah mengancam keberlangsungan hidup manusia, baik dalam bentuk merebaknya berbagai penyakit, menyusutnya produksi pangan, hingga meningkatnya intensitas bencana.
Laporan FAO (2019) di 91 negara telah menemukan hilangnya keanekaragaman hayati baik berupa tanaman, hewan, dan mikroorganisme. Padahal, kekayaan hayati ini selama ini telah menyediakan jasa ekosistem yang penting, seperti menjaga tanah tetap subur, menyerbuki tanaman, membersihkan air, dan memerangi hama dan penyakit. Studi ini menemukan bahwa walaupun lebih dari 6.000 spesies tanaman telah dibudidayakan untuk makanan, hanya 9 di antaranya yang berkontribusi 66 persen dari total produksi pangan. Ini menunjukkan adanya monokultur yang meluas di lahan petani. Laporan ini juga menghitung 7.745 jenis ternak lokal, 26 persen di antaranya berisiko punah dan 67 persen lainnya statusnya rentan. Diperkirakan 24 persen spesies makanan liar menurun jumlahnya, sementara status 61 persen lainnya tidak dilaporkan atau diketahui.
Kerusakan ekosistem ini diduga turut dalam menyebabkan mundurnya kembali pertumbuhan pangan di dunia. Bila pada periode 1970 hingga 1990 pertumbuhan produktivitas biji-bijian masih 2,0 persen per tahun, pada periode 1990 hingga 2007 tinggal 1,1 persen, dan terus menurun hingga kurang dari 1 persen. Penurunan pertumbuhan tersebut menyebabkan harga pangan dunia mengalami titik balik pada tahun 2000 dan terus meningkat sehingga menyebabkan krisis pangan dunia pada tahun 2008 dan 2011 (Bank Dunia, 1960–sekarang).
Keanekaragaman hayati telah diakui sangat penting untuk menjaga keamanan pangan, mendukung diet sehat dan bergizi, meningkatkan mata pencaharian pedesaan, dan meningkatkan ketahanan masyarakat dan masyarakat. Kurangnya keanekaragaman hayati berarti bahwa tumbuhan dan hewan lebih rentan terhadap hama dan penyakit. Hilangnya keanekaragaman hayati untuk pangan dan pertanian berisiko membahayakan ketahanan pangan dan nutrisi.
Pada Konferensi Pertanian Nyata Oxford awal tahun 2018, Tim Lang, Profesor Kebijakan Pangan di City University telah menyerukan agar kita kembali "memasukkan keanekaragaman hayati ke ladang, dan juga ke mulut kita". Untuk memastikan keanekaragaman hayati itu dipertahankan, kita perlu memakannya. Ini karena keamanan pangan kita tergantung pada keragaman genetik dalam jangka panjang. Kita tidak bisa lagi mengabaikan hubungan antara kesehatan planet ini dan kita sendiri.
Dunia kini menyerukan perubahan untuk kembali ke pola produksi yang lebih ramah lingkungan, dan ini berarti kesehatan ekosistem harus dikembalikan, dengan fondasi utamanya keberagaman hayati. Bagaimana dengan di Indonesia?
Keragaman untuk Kedaulatan Pangan
Pangan merupakan kebutuhan pokok paling asasi, yang menentukan keberlangsung hidup, kesehatan, kualitas generasi penerus, bahkan juga identitas. You are what you eat. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan dan nutrisi akan melahirkan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif.
Presiden RI pertama, Soekarno, menyatakan bahwa “pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa.” Pernyataan ini disampaikan Soekarno saat peletakan batu pertama gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia, yang kini menjadi Institut Pertanian Bogor, pada 27 April 1952. Saat itu, dia dilanda kegelisahan karena melihat ketergantungan pangan dari luar. “…kenapa kita harus membuang devisen 120 juta sampai 150 juta dolar tiap tahun untuk membeli beras dari luar negeri? Kalau 150 juta dolar kita pergunakan untuk pembangunan, alangkah baiknya hal itu,” sebut Soekarno.
Soekarno telah menyadari tentang pentingnya kemandirian dan kedaulatan pangan. Pernyataan itu kemudian terlegitimasi oleh hasil penelitian FAO (2000), bahwa suatu negara dengan penduduk lebih besar dari 100 juta orang, tidak mungkin bisa maju, makmur, dan berdaulat bila kebutuhan pangannya tergantung pada impor.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga telah mengamanatkan bahwa, ketahanan pangan bisa diwujudkan dengan kedaulatan pangan (food soveregnity), kemandirian pangan (food resilience) serta keamanan pangan (food safety). Dengan kata lain, ketahanan pangan berkenaan dengan tujuan (setting the goal), sedangkan kedaulatan pangan adalah jalan guna mencapainya (defining the way to realize it) (Syahyuti, 2018 dalam Khudori, 2019).
Sekalipun cita-cita tentang kedaulatan pangan telah lama digaungkan, namun sampai sekarang tujuan itu masih jauh dari tercapai. Seperti diuraikan dibagian awal, impor sejumlah komoditas pangan utama, termasuk beras belum menunjukkan tanda-tanda menurun.
Kenaikan produksi beras nasional, nyatanya tetap tak bisa mengatasi laju pertambahan penduduk yang berjalan berbarengan dengan migrasi konsumen ragam pangan ke beras. Namun, hingga akhir era Orde Baru, upaya untuk menjadikan padi sebagai satu-satunya sumber pangan pokok terus dilakukan. Selain intensifikasi pertanian, mereka juga melakukan perluasan lahan dengan membuka lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan, yang kita tahu berujung pada tragedi ekologi. Hingga saat ini, lahan gambut yang telanjur dikeringkan ini menjadi sumber kebakaran hutan dan lahan.
Sayangnya, kebijakan ini justru dilanjutkan dengan mimpi pencetakan sawah baru sejuta hektar. Jelas bahwa kebijakan pangan yang bertumpu pada beras telah gagal. Produktivitas padi sudah mencapai titik maksimal, dan justru berpeluang menurun seiring dengan kehancuran tanah akibat penggelontoran pupuk kimia yang menerus. Sementara itu, upaya diversifikasi pangan ditafsirkan keliru, karena justru membuka secara masif keran impor gandum dan meminggirkan keragaman pangan lokal.
Untuk mencari solusi pangan ke depan, kita harus kembali ke masa sebelum penghancuran sendi pertanian kita oleh Revolusi Hijau, bahkan juga perlu melongok ke era sebelum kolonialisme. Jejak-jejak kearifan lokal masyarakat kita dalam mengelola pangan itu masih bisa kita jumpai pada masyarakat-masyarakat adat di Nusantara, salah satunya masyarakat Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
Dengan mempraktikkan budidaya beragam jenis pangan lokal seperti jewawut, sorgum, jagung lokal, selain padi lokal, masyarakat Boti bisa berdaulat pangan. Mereka dengan tegas menolak setiap bantuan raskin atau yang kini dinamakan rastra. Tak hanya memenuhi kuantitas pangan, mereka juga terbukti bisa memenuhi kualitas pangan. Sekalipun Kabupaten TTS memiliki angka stunting tertinggi di Indonesia, yaitu mencapai 53,4 persen, Boti justru sebaliknya. Tak ada kasus gizi buruk ataupun anak-anak stunting di wilayah adat ini (Arif,2019).
Bahkan, masyarakat Jawa yang dikenal sebagai pendukung budidaya padi, di masa lalu juga tak hanya menumpukan sumber pangannya pada beras. Ini tercermin dari narasi Dewi Sri yang sering diidentikkan dengan dewi padi orang Jawa. Sosok dalam mite di Jawa ini sebenarnya lebih tepat menjadi dewi kesuburan dan keragaman pangan. Reduksi Dewi Sri hanya sebagai dewi padi merupakan bagian dari politik pangan bias beras yang menguat di era Kerajaan Mataram dan terus didengungkan oleh para penguasa hingga kini.
Dalam artikel J Sibina Mulder (1948, dalam Arif 2018) disebutkan bahwa padi dipercaya berasal dari jenazah Dewi Sri. Namun, selain padi, terdapat banyak tanaman lain yang juga berasal dari jenazah Dewi Sri. Dari tubuhnya tumbuh pohon aren, dari kepalanya tumbuh pohon kelapa, dari kedua tangannya tumbuh pohon buah-buahan, dan kakinya tumbuh umbi-umbian dan talas.
Menurut ahli folklor, James Danandjaja (1984), mitologi Dewi Sri merupakan hasil sinkretisme Dewi Hindu dari India dengan bidadari dalam mitologi bulan di Jawa. Dalam versi lain, Dewi Sri juga diidentifikasikan di dalam penjelmaannya dengan Dewi Ken Tisnawati. Identifikasi ini, misalnya, terlihat dalam mite pertanian Meukukuhan, yang merupakan lakon wayang purwa. Unsur India dalam mitologi Dewi Sri ini kemungkinan berasosiasi dengan pengaruh budidaya sawah yang diadopsi dari sana. Adapun aneka pangan lain dalam mitologi ini merupakan unsur lokal yang lebih dulu berkembang di Jawa.
Konsep ketahanan pangan masyarakat Jawa di masa lalu sebenarnya juga bukan hanya disandarkan pada kecukupan padi. Keragaman pangan itu tecermin dalam prinsip pola tanam yang meliputi unsur pala kesampar, pala gumantung, pala wijo, pala kependem, dan pala kitri. Pala kesampar merupakan tanaman yang terhampar seperti waluh, pala gumantung seperti kelapa dan pisang yang tidak mengenal musim, pala wijo merupakan penghasil biji-bijian, pala kependem dari umbi-umbian, dam pala kitri merupakan aneka tanaman pekarangan.
Keberagaman pangan juga telah dipraktikkan secara turun temurun di NTT. Tradisi Lamaholot, Flores Timur misalnya, mengenal kisah Tonuwujo, yang seperti Dewi Sri, dipercaya sebagai asal-usul beragam benih tanaman. Dari pengorbanan Tonuwujo, muncul padi, jagung, jewawut, sorgum, mentimun, mentimun, labu, kelapa, dan berbagai umbi-umbian. Hingga saat ini, sebagian masyarakat Lamaholot masih mempraktikkan keberagaman sumber pangan ini dalam ladang mereka, selain juga masih menyimpan benih-benih lokal warisan leluhur mereka.
Berbeda dengan masyarakat subtropis yang ketahanan pangannya terletak pada pengolahan atau fermentasi bahan, ketahanan pangan masyarakat di Nusantara adalah pada keberagaman produksi. Lumbung kita ada di tanah karena alam menumbuhsuburkan beragam jenis pangan. Semakin beragam yang ditanam, semakin kuat daya tahannya.
Laporan IPBES (2019) juga telah mengakui, masyarakat adat sebagai benteng terakhir dalam menjaga keragaman hayati dan mengelola lingkungan secara lebih berkelanjutan. Dalam rekomendasi IPBES untuk pengambil kebijakan disebutkan, pelibatan masyarakat adat dan komunitas lokal, dapat menjadi cara yang efektif untuk melindungi alam. Oleh karena itu, kontribusi positif dari masyarakat adat dan komunitas lokal untuk keberlanjutan dapat difasilitasi melalui pengakuan nasional atas penguasaan lahan, akses dan hak sumber daya sesuai dengan undang-undang di tiap negara.
Pentingnya keberagaman pangan sebenarnya telah disadari Presiden Soekarno. Saat berpidato pada Perayaan Hari Tani pada September 1965, Soekarno menekankan pentingnya mengubah menu makan agar tidak melulu beras. Menurut Soekarno, upaya untuk meningkatkan produksi saja tidak akan bisa memenuhi kebutuhan pangan nasional. Dia menyebutkan, produksi beras Indonesia sebelum kemerdekaan hanya 5,5 juta ton, sedangkan pada 1965 sudah mencapai 11 juta ton. “Toh harganya masih tetap naik. Sebabnya? Banyak. Pertama, jumlah penduduk kita naik kurang lebih 50 persen. Dari 72 juta, sekarang tercatat 105 juta,” kata Soekarno (Kompas, 28 September 1965).
Pemikiran Soekarno ini mengulang pidatonya saat acara peletakan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia yang kemudian menjadi Institut Pertanian Bogor pada 27 April 1952. Saat itu, dia sudah menyadari sulitnya memenuhi perut penduduk negeri ini yang jumlahnya terus berlipat, sementara produksi pangan cenderung ajek, bahkan berkurang.
Oleh karena itu, menurut dia, ”Persediaan bahan makanan itu harus ditambah.” Namun, menurut Soekarno, penambahan sawah bukanlah jalan keluar mengingat luas lahan yang cocok untuk budidaya padi sawah sangat terbatas. Dia mengajak kita untuk memusatkan perhatian ke lahan kering, bahkan juga ke lahan gambut.
”Alangkah besarnya persediaan makanan kita kalau 8 juta hektar ini dapat kita berikan produksi yang lebih tinggi. Di sini di tanah-kering inilah, lebih way-out mutlak yang kita cari,” kata Soekarno waktu itu.
Soekarno mengajak menanami lahan kering ini dengan aneka tanaman yang, ”…nilai khasiatnya harus dibuat sederajat dengan nilai khasiat padi, misalnya jagung, jawawut, kedelai, kacang tanah, dan lain-lain sebagainya lagi. Penggiatan seleksi bagi tanaman-tanaman tanah kering ini teranglah satu keharusan yang lekas harus kita penuhi!”
Peringatan Soekarno tentang pentingnya memperhatikan kecocokan lahan di Nusantara, termasuk optimalisasi pertanian lahan kering, sudah berlalu pulunan tahun. Nyatanya, kondisi Indonesia justru sebaliknya. Pemerintah masih terus terobsesi dengan sistem pertanian di lahan basah guna memenuhi ketersediaan beras. Pangan nasional masih juga identik dengan beras, sementara sumber pangan lainnya diabaikan.
Pandangan Soekarno ini menekankan pentingnya kebijakan pangan berperspektif Nusantara. Ini berarti tanaman lokal yang terbuki telah beradaptasi dengan kondisi iklim maupun sosial setempat harus menjadi prioritas. Negeri ini memiliki begitu banyak potensi sumber pangan lokal yang telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat.
Sebagai negeri agraris, kerentanan pangan di Indonesia bisa dibilang lebih karena kurangnya pengetahuan, dibandingkan kekurangan pangan. Menumpukan kebutuhan pangan nasional hanya pada beras jelas berisiko. Produksi padi per hektar saat ini sudah maksimal, akan sulit ditingkatkan lagi. Bahkan, berpeluang turun dengan beragam serangan hama. Sementara itu, pembukaan sawah di luar Jawa akan menghadapi masalah kecocokan agroklimatologinya dan persoalan budaya.
Persoalan lain, menurut kajian Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) bersama Kementerian Pertanian dan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika yang dirilis pada Januari 2018, tanaman padi sangat rentan terdampak perubahan iklim. Menurut kajian ini, dalam kurun 20 -50 tahun mendatang diperkirakan akan terjadi penurunan produksi padi hingga 1,5 ton per hektar di delapan provinsi penghasil utama bahan pangan ini.
Dengan terus bertambahnya pengonsumsi beras, sementara lahan sawah penghasil lumbung padi di Jawa dan Bali terus menyusut, maka upaya pemenuhan pangan ke depan semakin sulit. Padahal, penyediaan pangan di masa depan berkejaran dengan pertumbuhan penduduk yang melonjak semamin lama semakin cepat. Perlu ribuan tahun hingga penduduk Indonesia mencapai 100 juta jiwa, dan setelah itu hanya perlu waktu sekitar 35 tahun untuk menjadi 200 juta (tahun 1998) dan 35 tahun berikutnya (tahun 2033) sudah mencapai 300 juta.
Belum lagi, kini kita menghadapi ekspansi gandum yang konsumsinya secara nasional naik hingga 500 persen dalam 30 tahun terakhir. Lonjakan impor gandum terjadi pada 2011 setelah pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No 13/2011. Melalui PMK ini, 57 jenis komoditas pangan, termasuk gandum, beras, dan jagung, bea masuk (BM)-nya diturunkan menjadi 0 persen.
Proporsi gandum sebagai pangan pokok di Indonesia terus melonjak dari 21 persen pada tahun 2015 menjadi 25,4 persen di tahun 2017. Total impor gandum Indonesia terus meningkat dan pada tahun 2017 mencapai 11,6 juta ton. Data terbaru dari United States Department of Agriculture (USDA), pada tahun 2017/2018 ini, Indonesia telah menjadi pengimpor gandum terbesar di dunia dengan volume 12,5 juta ton. Volume impor gandum ini jauh lebih besar daripada impor beras.
Jelas bahwa candu gandum lebih membahayakan kedaulatan pangan kita, karena akan membuat kita semakin tergantung impor untuk memenuhi kebutuhan pangan. Untuk keluar dari jebakan candu beras dan gandum ini, satu-satunya jalan adalah kembali pada keberagaman pangan lokal. Konsep ketahanan pangan harus berwawasan keberagaman ekosistem dan budaya Nusantara.
Kasus Sorgum di Flores
Setelah puluhan tahun ditinggalkan, tanaman sorgum saat ini mulai kembali dibudidayakan di Pulau Flores dan pulau-pulau sekitarnya. Tak hanya dibudidayakan sorgum juga dikonsumsi dan perlahan menggeser ketergantungan pada beras yang pada umumnya diperoleh dari bantuan raskin.
Gerakan kembali sorgum di Pulau Flores dan sekitarnya ini awalnya dirintis Maria Loretha dan suaminya Jeremias D Letor sejak sepuluh tahun lalu di Pulau Adonara, Flores Timur. Mereka kemudian mendapatkan Yaspensel Keuskupan Larantuka dan dukungan dari Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) dan beberapa pihak lain seperti Litbang Kementrian Pertanian. Kini, selain di Pulau Adonara, tanaman sorgum telah dikembangkan sekitar 200 ha di wilayah di Pulau Flores, Pulau Solor, hingga Pulau Lembata. Pengembangan sorgum di NTT ini telah melibatkan puluhan kelompok tani, dan sebagian besar di antaranya adalah anak-anak muda yang memiliki kesadaran tentang pentingnya pangan lokal. Setiap tempat ini memiliki alasan sendiri untuk mengembangkan sorgum, mulai dari kecocokan dengan agroklimat dan perubahan iklim yang menyebabkan cuaca semakin kering dan panas, persoalan ekonomi karena tingginya input pertanian untuk budidaya padi, hingga ikatan budaya dan peluangnya untuk pengembangan wisata. Sorgum telah membawa perubahan signifikan di kelompok-kelompok ini.
Salah satu contoh nyata perubahan yang dialami masyarakat Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur yang mulai mengembangkan sorgum pada 2014. Masyarakat yang sebelumnya dililit kemiskinan dan tergantung beras subsidi, kini berdaulat pangan dengan sorgum dan berencana menolak bantuan beras dari pemerintah.
Sebelumnya, 63 dari 158 keluarga di desa ini digolongkan miskin dan mendapat beras subsidi 10 kilogram per keluarga per bulan. Saat ini luas lahan sorgum di desanya 70 hektar dan bertambah tiap tahun. Sorgum tahan kering dan tahan hama penyakit, serta dipanen 2-3 kali. Rata-rata 1 hektar lahan menghasilkan 5-6 ton sorgum kering panen. Padahal, tanaman pangan lain, seperti padi ladang dan jagung sangat sulit tumbuh. Selain untuk pangan, kelebihan panen sorgum dijual dan menjadi penopang ekonomi warga yang sebelumnya penghasilan utama mereka dari memungut biji asam karena hanya itu yang bisa tumbuh di tanah Likotuden yang tandus dan kering.
Kawasan NTT, yang selama ini dikenal beriklim kering dan yang marjinal bisa mencukupi pangan jika mau mengembangkan sorgum. Sorgum yang butuh cahaya matahari 9 – 12 jam sehari sangat cocok dikembangkan di NTT. Tanaman ini memiliki efisiensi fotosintensis sangat tinggi, sehingga bisa optimal di tanah dengan sumber hara terbatas. Jika sorgum ditanam di Jawa atau Sulawesi masih butuh dipupuk, di NTT tidak perlu pupuk.
Tidak hanya dari produktivitas dan adaptasinya terhadap lahan kering, sorgum yang memiliki nutrisi baik ini juga berkontribusi penting untuk perbaikan gizi dan kesehatan masyarakat. Tanaman ini memang memiliki nutrisi yang baik. Berdasarkan data Departemen Pertanian AS (USDA) tahun 2011, kandungan karbohidrat sorgum per 100 gram (gr) mencapai 74,63 gr, lebih tinggi dari gandum 71,97 gr. Kandungan karbohidrat ini urutan ketiga setelah padi (79,15 gr) dan jagung (76,85 gr). Untuk protein, tiap 100 gram sorgum mengandung protein 11 gr, lebih tinggi dari beras 9 gr. Sorgum juga kaya serat dan antioksidan, sedangkan indeks glikemiknya lebih rendah daripada beras sehingga cocok dikonsumsi penderita diabetes.
Dengan data-data ini, sejak tahun 2016, Puskesmas Kecamatan Demon Pagong melakukan terobosan dengan memberikan sorgum ditambah dengan ragam lpangan lokal lainnya sebagai Program Makanan Tambahan kepada balita gizi kurang dan gizi buruk. Ternyata, pemberian makanan tambahan terfokus tersebut memberikan hasil positif. Di tahun 2018, Bupati kemudian menggulirkan program Gempur Stunting dengan Sorgum dan Kelor untuk mengatasi angka gizi buruk dan stunting di yang tinggi. Data terakhir, prevalensi stunting di Flores Timur mencapai 29,9% atau setidaknya 30% dari 20.000 bayi di Flores Timur masuk dalam kategori gizi buruk. Angka tersebut masuk dalam kategri diatas target nasional (29,34%).
Menurut data National Renewable Energy Laboratory (NREL), luas lahan kering dan marjinal di Indonesia mencapai 37.123 kilometer persegi atau sekitar 2 persen total area di negeri ini. Meski demikian, selama ini pertanian lahan kering cenderung dianaktirikan karena pola pemenuhan pangan yang masih bertumpu pada beras yang dihasilkan di lahan sawah. Padahal, seperti dibuktikan petani Desa Kawalelo, sorgum telah membuat mereka berdaulat pangan.
Review Kebijakan
Keberagama pangan sebenarnya telah lama disadari urgensinya, bahkan juga telah tertuang dalam sejumlah kebijakan. Namun demikian, pemerintah tidak konsisten mengimplementasikan keberagaman pangan ini. Kebijakan pertama terkait diversifikasi pangan adalah dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat. Instruksi ini hanya mengamanatkan pentingnya diversifikasi pangan, namun tidak secara jelas mengatur pentingnya pengembangan keberagaman pangan lokal. Gandum, yang hampir 100 persen impor dijadikan sebagai contoh diverfisikasi pangan. Inilah yang menyebabkan, diversifikasi pangan kemudian menjurus ke peningkatan impor gandum sebagai bahan dasar produk terigu dalam bentuk mi instan, roti dan sejenisnya. Apalagi pemerintah kemudian memberikan subsidi terigu untuk mengurangi tekanan terhadap permintaan beras.
Namun demikian, Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal, telah mengamanatkan upaya penganekaragaman konsumsi pangan harus berbasis sumber pangan setempat atau khas daerah. Amanat tersebut ditegaskan dalam Peraturan Menteri Pertanian No 43 Tahun 2009 tentang gerakan percepatan penganekaragaman pangan lokal. Berikutnya, hal ini dipertegas dalam Undang-Undang Pangan No 18 Tahun 2012, yang merupakan revisi dari UU Pangan No 7 tahun 1996.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan secara tegas menyatakan adanya penganekaragaman Pangan merupakan upaya meningkatkan Ketersediaan Pangan yang beragam dan yang berbasis potensi sumber daya lokal untuk memenuhi pola konsumsi Pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman;, mengembangkan usaha Pangan; dan/atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat . .Pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab atas ketersediaan dan pengembangan produksi pangan lokal. Pengabaian ragam pangan lokal yang saat ini terjadi merupakan bentuk pengingkaran atas konstitusi. UU tentang Pangan juga mengamanatkan kemandirian pangan, yang dijelaskan sebagai kemampuan negara dan bangsa ini dalam memproduksi pangan beraneka ragam dari dalam negeri agar bisa menjamin kebutuhan pangan masyarakat. Itu dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal.
Sesudah terbitnya UU Pangan 2012, penganekaragaman pangan berbasis sumber daya lokal otomatis jadi kewajiban pemerintah pusat dan daerah, dan beberapa kebijakan telah dibuat. Keterkaitan pangan dan gizi juga telah diatur dalam Peraturan Presiden No 17 Tahun 2015 tentang Pangan dan Gizi. Peraturan ini mengamanatkan penganekaragaman pangan sebagai upaya meningkatkan ketersediaan pangan yang beragam dan berbasis pada potensi sumber daya lokal, untuk memenuhi pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman; mengembangkan usaha pangan; dan/atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. penetapan kaidah Penganekaragaman Pangan sebagaimana dimaksud dengan melakukan Prinsip Gizi seimbang, berbasis sumber daya dan kearifan lokal, ramah lingkungan dan aman.
Kemudian di tahun 2017, dikeluarkan Peraturan Presiden No 83 Tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis pangan dan Gizi sebagai acuan bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pemangku Kepentingan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi yang berkelanjutan guna mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing dan menekankan bahwa penyediaan pangan berbasis pada potensi sumber daya lokal. Penyediaan pangan berbasis sumber daya lokal; distribusi pangan; konsumsi kalori, karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral; dan peningkatan akses pangan bagi masyarakat miskin dan masyarakat yang mengalami rawan pangan dan gizi.
Sejumlah daerah juga telah menerbitkan peraturan untuk menindaklanjuti UU ini. Contohnya, Pemerintah Kabupaten Sumbawa menerbitkan Peraturan Bupati Sumbawa Nomor 2 Tahun 2014 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Kabupaten Banyuwangi juga menerbitkan Peraturan Bupati Banyuwangi No 35/2015.
Tahun 2017, Bupati Sangihe membuat kebijakan dua hari tanpa beras dan diganti dengan konsumsi pangan lokal. Selain sebagai upaya untuk mengajak masyarakat Sangihe kembali mengkonumsi sumber karbohidrat yang beragam, kebijakan tersebut merupakan langkah alokasi dana Pemda untuk pembelian beras di digunakan untuk membeli pangan lokal yang ada di Sangihe seperti talas, sagu dan umbi-umbian lainnya, sehingga perputaran uang ada di dalam Sangihe untuk meningkatkan ekonomi petani lokal. Kebijakan tersebut kemudian dilanjutkan dengan terbitnya Perbup Kabupaten Sangihe tentang pertanian organic.
Di Kabupaten Flores Timur, Bupati menerbitkan Peraturan Bupati Nomor 21 Tahun 2017 tentang pangan lokal. Contoh lain yaitu Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur yang mengeluarkan Peraturan Bupati Sumba Timur Nomor 130 Tahun 2009 tentang Diversifikasi Pangan. Itu ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Bupati Nomor 521/627/1X/2012 tentang Satu Hari Tanpa Beras. Namun, undang-undang dan peraturan ini tidak diimplementasikan, terutama karena minimnya dukungan dari nasional.
Periode pertama Pemerintahan Presiden Joko Widodo sebenarnya menjadikan kedaulatan pangan sebagai salah satu program prioritas dalam Nawacita. Renstra Kementrian Pertanian RI 2015 – 2019 yang bertumpu pada agenda Nawa Cita, khususnya Sasaran Nawa Cita Kedaulatan Pangan, juga menekankan bahwa peningkatan diversifikasi pangan menjadi sasaran dari salah satu misi untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Selain itu, keberagaman pangan dilakukan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan petani dilakukan upaya peningkatan pendapatan keluarga petani. Namun demikian, dalam prakteknya, kebijakan pangan bias beras terus dilakukan.
Pemberian beras miskin (raskin) yang diadakan pemerintah sejak 2003, terus dilakukan, sekalipun namanya diganti menjadi beras sejahtera (rastra). Padahal, sejak program raskin ini, beras masuk lebih jauh ke penjuru Indonesia, termasuk ke pedalaman Papua yang secara tradisional bukan pemakan beras. Kebijakan bias beras juga terlihat dalam upaya menganakemaskan tiga komoditas andalan, yaitu padi, jagung, dan kedelai atau Program Pajale. Kebijakan ini seperti mengulang program nasional Gerakan Mandiri Padi Kedelai dan Jagung (Gema Palagung) yang diterapkan pada 2001. Semua daerah dipaksa menanam padi, kedelai dan jagung dengan paket intensifikasi, padahal tidak semua daerah bisa dan cocok ditanami jenis tanaman tersebut.
Bisa disimpulkan bahwa regulasi kita sebenarnya sudah mengakomodir penganekaragaman pangan dan memandatkan penyediaan pangan berbasis pada potensi sumber daya lokal. Akan tetapi, implementasinya dalam berbagai program pangan, baik nasional maupun daerah masih belum optimal. Beberapa program justru bertentangan dengan mandat UU Pangan yang ada.
Rekomendasi
Pemenuhan pangan ke depan akan menghadapi banyak tantangan. Selain laju pertumbuhan penduduk, kita juga menghadapi persoalan konversi lahan pertanian, perubahan iklim, hingga penurunan laju keragaman hayati dan kerusakan lingkungan yang akan mengancam produksi tanaman. Secara geopolitik, ketergantungan kita terhadap impor pangan juga rentan memicu krisis jika terjadi gejolak harga pangan global.
Sebagai fondasi kehidupan, pangan juga merupakan komoditas politik yang bisa menyebabkan jatuh bangunnya kekuasaan di satu negara. Dalam satu dekade terakhir saja, kita mencatat terjadinya gejolak politik hingga melengserkan Kepala Negara karena dipicu oleh krisis pangan, seperti terjadi di Haiti, Pakistan, Meksiko, Argentina, Nigeria, Mesir, dan Tunisia. Tak mengherankan jika hasil kajian Litbang Kompas, pangan menempati isu terpenting untuk diselesaikan oleh presiden terpilih dengan persentase 51,8 persen, jauh melampaui infrastruktur (15,3 persen), sumber daya alam (12,1 persen), lingkungan (10,5 persen), dan energi (5,5 persen) (Kompas, 16/2/2019). Di sektor pangan, harga pangan mendapat perhatian tertinggi responden (45,5 persen), diikuti ketersediaan pangan (30 persen) dan strategi ketahanan pangan (8,2 persen).
Kedaulatan pangan yang telah diamanatkan undang-undang bakal terwujud apabila berkembang model produksi dan konsumsi pangan setempat. Untuk mewujudkan hal ini, kami merekomendasikan beberapa hal:
Pertama kita harusmengembalikan konsep pangan Nusantara, yang didasarkan pada keberagaman sumber daya hayati dan budaya. Pemerintah harus mengubah visi pangan nasional yang mengakomodir keragaman dan kebutuhan pangan lokal, yang secara alami telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat dan secara budaya menjadi sumber pangan masyarakatnya. Oleh karena itu, ketersediaan pangan nasional harus memasukkan data tentang ketersediaan pangan lokal dan tidak lagi disederhanakan hanya menjadi padi, jagung, dan kedelai yang kemudian dipaksanakan diseluruh Indonesia yang memiliki keberagaman agroklimat dan budaya.
Kedua, kebijakan tentang pangan harus diintegrasikan dengan kesehatan, keberagaman hayati, perubahan iklim dan sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya target ke-2. Perlu ditekankan di sini, produksi pangan ke depan harus mengembangkan model berkelanjutan. Salah satu yang bisa dipilih adalah pendekatan agroekologi yang berbasiskan empat pilar: layak secara ekonomi, teknologi adaptif, tidak merusak lingkungan, serta secara sosial-budaya diterima warga.
Ketiga, sesuai UU Pangan Pasal 33, pemerintah perlu merealisasikan cadangan pangan masyarakat (CPM), di mana masyarakat punya hak dan kesempatan seluas-luasnya dalam mewujudkannya. Demikian juga pemerintah memfasilitasi pengembangan CPM sesuai kearifan lokal. Sesuai Pasal 26 disebutkan, pemerintah dapat mengembangkan kemitraan dengan pelaku usaha pangan, perguruan tinggi, dan masyarakat dalam pengembangan CPN. Pelaku usaha bersama akademisi bisa berinovasi menggali potensi kearifan lokal untuk mewujudkan CPN.
Keempat, seluruh kebijakan pangan, khususnya upaya untuk mengembalikan keberagaman pangan ini harus masuk ke Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, Program Prioritas Nasional, dan Sistem Penganggaran Nasional, termasuk juga perlu adanya mekanisme pemberian insentif bagi daerah yang telah menerapkan kebijakan pangan lokal.
Daftar Pustaka
Arif, Ahmad. Sagu Papua yang Terabaikan. Kompas, 27 September 2018
Arif, Ahmad. Saatnya Kembali ke Ragam Pangan. Kompas, 27 Februari 2018
Arif, Ahmad. Catatan Iptek: Sego, Sagu, Sangu. Kompas, 1 Juni 2016
Danandjaja. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain Lain. Jakarta: Pustaka Grafiti Press,1984
Darajati, W., dkk. Indonesian Biodiversity and Action Plan 2015-2020. Jakarta: Bappenas, 2016
Dirzo, R. dkk. Defaunation in the Anthropocene. Jurnal Science, 25 Juli 2014
Diaz, Sandra dkk. Summary for policymakers of the global assessment report on biodiversity and ecosystem services. IPBES, 2019
Harari, Y.N., Sapiens: A Brief History of Humankind. London: Harvill Secker, 2014
J. Bélanger & D. Pilling (eds.). The State of the World’s Biodiversity for Food and Agriculture. FAO, 2009
Khudori. Tantangan Kedaulatan Pangan. Kompas, 26 April 2019
Las, Irsal. Revolusi Hijau Lestari untuk Ketahanan Pangan ke Depan. Tabloid Sinar Tani, 14 Januari 2009
Molina, J.Molecular evidence for a single evolutionary origin of domesticated rice. Jurnal PNAS, 17 Mei 2017
Ranere, A.J. The cultural and chronological context of early Holocene maize and squash domestication in the Central Balsas River Valley, Mexico. Jurnal PNAS, 31 Maret 2009.
Suhendra dkk (eds), Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2014
Santosa, Dwi. A., Pangan Pascaretorika. Kompas, 25April 2019
Polo, Marco. The Travels of Marco Polo – World Digital Library. (in Old French). Retrieved 25 November 2014.
———. World Food and Statistical Pocketbook. FAO, 2018
———. Buku Saku Pantauan Status Gizi (PSG) 2017. Dirjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes, 2017